Meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance) khususnya kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary) merupakan salah satu sasaran utama yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kepatuhan yang meningkat pada akhirnya akan berpengaruh secara positif terhadap penerimaan pajak. Namun demikian, kondisi kepatuhan di Indonesia saat ini sayangnya masih kurang menggembirakan terutama jika menggunakan angka penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai indikator. Berdasarkan Laporan Tahunan DJP Tahun 2012, dari sebanyak 17,66 juta Wajib Pajak (WP) yang wajib menyampaikan SPT Tahunan Tahun 2012, hanya sebanyak 9,48 juta WP yang menyampaikan SPT-nya. Secara persentase, angka ini setara dengan 53,70 persen.
Upaya DJP untuk meningkakan kepatuhan telah dan senantiasa terus dilakukan dengan mengacu kepada empat pilar perpajakan Indonesia yaitu Penyuluhan, Pelayanan, Pemeriksaan (termasuk penyidikan) dan Penagihan. Kebijakan terkini yang sedang dijalankan adalah dengan mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP). Sementara itu, wacana penerapan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) masih terus dikaji dan dibahas secara intensif termasuk dengan pihak legislatif.
Disamping melakukan upaya-upaya sebagaimana disebutkan di atas, masih terdapat ruang untuk melakukan upaya inovatif dalam rangka meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satunya adalah melalui penerapan ilmu ekonomi perilaku (behavioural economics) dalam kegiatan peningkatan kepatuhan, khususnya dengan cara mempengaruhi individu (WP) di dalam pengambilan keputusan. Penerapan ilmu ekonomi perilaku telah mengalami perkembangan yang cukup pesat tidak hanya di negara-negara maju (seperti Amerika Serikat, Inggris, Canada dan Australia) tetapi juga di beberapa negara lainnya (seperti Argentina, Peru, Mexico, dan Chile).
Tulisan ini mencoba mengulas secara singkat mengenai perkembangan penerapan ilmu ekonomi perilaku untuk meningkatkan kepatuhan pajak, contoh penerapan yang telah dilakukan di beberapa negara, kelebihan maupun kekurangannya, dan peluang penerapannya di Indonesia. Tulisan ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, penerapan ilmu ekonomi perilaku untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia dan ditutup dengan kesimpulan.
Tinjauan pustaka
Definisi kepatuhan menurut Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD (2004) mencakup empat aspek yaitu: kepatuhan untuk mendaftar sebagai WP (register in the system); kepatuhan untuk melapor secara tepat waktu (timely filling/lodgement); kepatuhan untuk melaporkan informasi perpajakan secara lengkap dan akurat (complete and accurate reporting); dan kepatuhan untuk membayar pajak yang terutang secara tepat waktu (timely payment). Di dalam tulisan ini, kepatuhan yang menjadi fokus pembahasan adalah kepatuhan yang mencakup 3 kategori terakhir dengan pertimbangan bahwa yang menjadi sasaran dari kegiatan ini adalah WP yang sudah terdaftar.
Studi mengenai kepatuhan pajak (tax compliance) hingga saat ini didominasi oleh literatur dari bidang ekonomi dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu studi dengan pendekatan hukuman (economic deterrence approach; dikenal juga dengan sebutan traditional models of taxation atauneoclassical model of tax compliance) dan studi dengan pendekatan ilmu ekonomi perilaku (behavioural economics approach).
Secara garis besar, pendekatan hukuman menyatakan bahwa kepatuhan pajak ditentukan oleh empat faktor yaitu resiko pemeriksaan (probability of audit), besaran sanksi (penalty/fine), besaran pajak (tax rate) dan besarnya penghasilan (gross income). Dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini menekankan kepatuhan pada aspek paksaan (enforced compliance). Terlepas dari simplifikasi dan kekurangan pendekatan ini, sebagian besar literatur kepatuhan pajak mendukung dan merupakan pengembangan dari pendekatan ini.
Dalam perkembangannya, pendekatan hukuman dinilai belum dapat menjawab secara tuntas mengenai fenomena kepatuhan pajak. Sebagai jawaban, berkembanglah pendekatan ekonomi perilaku (behavioural economics approach) yang secara umum merupakan penggabungan ilmu ekonomi dengan menggunakan metode dan bukti-bukti dari ilmu sosial lainnya (khususnya psikologi) untuk menganalisis proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok (Alm, 2012). Secara garis besar, pendekatan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu “non-expected utility theory”[1] dan “sosial interaction theory” (Alm, 2012). Non-expected utility theory melakukan fokus kepada individu sementara social interaction theory melakukan fokus kepada kelompok (group) dan interaksi individu di dalam kelompok.
Studi mengenai kepatuhan dengan pendekatan ilmu ekonomi perilaku mengajukan beberapa argumen antara lain: individu tidak selalu bertindak rasional; individu memiliki keterbatasan di dalam melakukan analisis untuk melakukan pengambilan keputusan; individu bertindak atas dasar fungsi nilai (value function) dan bukan pada fungsi kepuasan (utility function); dan adanya bukti mengenai pengaruh norma sosial (sosial norm), keadilan (fairness), kepercayaan (trust), patriotisme, rasa bersalah (guilt) dan moral pajak (tax morale) di dalam pengambilan keputusan.(Alm, 2012; Alm & Torgler, 2011; Torgler, 2007)
Penerapan ilmu ekonomi perilaku untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa faktor-faktor psikologis juga mempengaruhi seorang individu dalam pengambilan keputusan di bidang perpajakan. Dengan kata lain, keputusan seseorang untuk menjadi patuh atau tidak patuh, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti norma sosial, keadilan, kepercayaan, patriotisme dan moral.
Beberapa studi yang dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa dengan “membangkitkan” faktor-faktor psikologis tersebut (misalnya norma sosial dan moral), otoritas pajak dapat meningkatkan kepatuhan pajak tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. Hal ini tentu saja merupakan suatu terobosan yang positif di tengah-tengah kondisi keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh otoritas pajak. Sebagaimana diketahui, keterbatasan sumber daya (antara lain manusia dan dana) merupakan kendala yang dihadapi oleh sebagian besar otoritas pajak di seluruh dunia.
Berikut adalah beberapa contohnya. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Coleman (1996) di Minnesota, Amerika Serikat, otoritas pajak setempat (Minnesota Department of Revenue) bekerjasama dengan peneliti (Coleman) mengirim 4 (empat) jenis surat berisikan informasi yang berbeda kepada empat kelompok WP. Setiap WP di dalam masing-masing kelompok hanya mendapat satu jenis surat yang memuat informasi tertentu. Kelompok pertama mendapat surat yang berisi informasi mengenai manfaat pajak untuk membiayai barang dan jasa publik termasuk pendidikan, keamanan dan kesehatan. Kelompok kedua mendapat surat yang berisi informasi mengenai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas pajak. Kelompok ketiga mendapat surat berisi informasi mengenai bagaimana WP dapat memperoleh bantuan atau bimbingan dari otoritas pajak apabila menemui kesulitan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kelompok terakhir mendapat surat yang berisi informasi bahwa lebih dari 90 persen WP di Minnesota telah menunjukkan kepatuhan dalam melapor pajak yaitu melaporkan SPT tepat pada waktunya. Peneliti kemudian mengukur efektifas dari setiap jenis informasi yang disampaikan tersebut melalui analisis kuantitatif terhadap SPT Tahunan (tax return) yang disampaikan oleh WP beberapa waktu setelah menerima surat berisi informasi sebagaimana diuraikan di atas. Elemen SPT yang diukur adalah nominal dan ketepatan waktu pembayaran pajak serta ketepatan pengisian SPT. Sebagai pembanding, peneliti juga melakukan analisis serupa atas SPT sekelompok WP yang sama sekali tidak menerima salah satu dari empat jenis surat dimaksud. Kelompok ini berfungsi sebagai kelompok pengendali (control group). Hasil dari eksperimen menunjukkan bahwa surat keempat yaitu surat yang berisi informasi mengenai kepatuhan pajak WP di Minnesota, memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap peningkatan kepatuhan pajak WP yang menjadi sampel penelitian. Boleh jadi ketidakpatuhan yang ada sebelumnya disebabkan oleh persepsi yang salah, misalnya oleh informasi mengenai ketidakpatuhan yang disajikan di media atau melalui informasi yang tidak akurat dari WP lainnya. Sehingga ketika diberikan informasi bahwa tingkat kepatuhan yang ada ternyata sudah cukup baik, WP akan terdorong untuk menjadi patuh.
Penelitian lain dilakukan di Inggris pada tahun 2007 dengan melibatkan sekitar 100,000 WP yang memiliki tagihan pajak yang sudah jatuh tempo[2]. Dalam penelitian tersebut WP dibagi ke dalam beberapa kelompok yang masing-masing menerima surat berisi pesan yang berbeda. Kelompok pertama mendapat surat yang berisikan pesan yang baku/standar (mengingatkan untuk membayar tagihan) dan kelompok kedua, ketiga, dan keempat mendapat surat yang berisikan pesan baku dengan tambahan pesan yang “membangkitkan” moral positif bagi yang menerimanya. Kelompok kedua mendapat tambahan informasi yang menyatakan bahwa “sebagian besar WP di Inggris (sekitar 90%) telah membayar pajak dengan tepat waktu”. Kelompok ketiga mendapat surat yang memuat informasi tambahan serupa namun diberi tambahan berupa pernyataan bahwa “mereka yang tidak patuh hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan WP”. Sementara itu kelompok terakhir mendapat tambahan informasi bahwa pajak yang dibayar sangat penting bagi pembiayaan barang dan jasa publik seperti pembangunan jalan, pendidikan dan kesehatan.
Secara keseluruhan, dibandingkan surat pertama yang hanya bersifat mengingatkan, ketiga jenis surat terakhir terbukti efektif dalam meningkatkan pembayaran tagihan pajak yang jatuh tempo. Surat kedua terbukti meningkatkan pembayaran sebesar 1.3 hingga 2.1 persen sementara surat ketiga berhasil meningkatkan pembayaran hingga 5.1 persen. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa dengan mengirim surat yang membangkitkan moral, kepatuhan pajak berpotensi untuk ditingkatkan. Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan relatif kecil, dalam hal ini adalah biaya untuk membuat dan mengirim surat.
Mengambil pelajaran dari contoh penelitian sebagaimana diuraikan di atas, DJP dapat menjajaki metode ini untuk melakukan kegiatan-kegiatan himbauan yang bersifat membangkitkan moral positif kepada WP. Tentu saja kegiatan ini tidak dapat diterapkan secara merata kepada seluruh WP. Ruel (2014) memberi catatan bahwa kegiatan sejenis ini lebih efektif diterapkan terhadap ketidakpatuhan yang bersifat tidak direncanakan (unintentional non-compliance) misalnya ketidakpatuhan yang disebabkan karena kurang paham atas peraturan atau kurangnya informasi. Untuk ketidakpatuhan yang direncanakan (intentional non-compliance) apalagi ketidakpatuhan yang bersifat penggelapan (fraud/tax evasion), tindakan yang efektif adalah tindakan yang bersifat penegakan hukum (enforcement) seperti pemeriksaan, penyidikan dan penagihan.
Sejauh pengetahuan penulis, belum ada hasil penelitian mengenai karakteristik ketidakpatuhan di Indonesia apakah lebih didominasi oleh ketidakpatuhan yang tidak direncanakan ataukah ketidakpatuhan yang bersifat sistematis. Namun demikian, apabila sebagian besar WP OP pada hakikatnya ingin memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar namun terkendala dengan kurangnya pemahaman akan peraturan perpajakan, maka dapat dikatakan bahwa ketidakpatuhan yang ada adalah ketidakpatuhan yang tidak direncanakan. Untuk itu, para WP ini perlu diingatkan mengenai kewajiban perpajakannya antara lain dengan cara “membangkitkan” moral positifnya. Salah satu cara yang inovatif dan efektif untuk menjangkau sebanyak mungkin WP di dalam kelompok ini adalah dengan cara mengirimkan pesan dalam bentuk surat (semacam surat himbauan). Untuk memperkuat, selain dalam bentuk tertulis pesan juga dapat disampaikan dalam bentuk gambar/ilustrasi sederhana. Cara ini tidak membutuhkan sumber daya yang besar. Biaya yang dibutuhkan secara umum hanyalah biaya untuk membuat dan mengirim surat. Agar dapat diterapkan dengan efektif, tentu saja dibutuhkan database alamat WP yang lengkap dan akurat. Alternatif lain untuk pengiriman pesan adalah melalui pesan singkat (short message service/SMS). Sebagai contoh, otoritas perpajakan Kanada telah memanfaatkan metode pengiriman SMS sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak pertambahan nilai bagi para WP baru.
Kesimpulan
Pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan negara dan ketersediaan barang dan jasa publik. Dari tahun ke tahun kebutuhan dana tersebut semakin membesar. Sumber utama penerimaan negara yang menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut adalah melalui penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang tinggi harus ditopang oleh kepatuhan yang pajak yang juga tinggi. Untuk menjamin keberlangsungan kepatuhan pajak yang tinggi, maka kepatuhan yang ideal adalah kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary compliance) dan bukan kepatuhan yang dipaksa (enforced compliance).
Literatur kepatuhan pajak dengan pendekatan ilmu ekonomi perilaku (behavioural economics approach) menyatakan bahwa kepatuhan pajak ditentukan juga oleh faktor-faktor seperti norma sosial (social norm), keadilan (fairness), kepercayaan (trust), patriotisme, rasa bersalah (guilt) dan moral pajak (tax morale). Teori ini telah diuji di beberapa negara dan memberikan hasil yang positif. Berdasarkan fakta tersebut, maka aplikasi penerapan ilmu ekonomi perilaku untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia layak untuk dipertimbangkan. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan mengirim pesan melalui surat atau pesan singkat (SMS) yang bertujuan untuk membangkitkan moral positif dari WP. Metode ini tidak membutuhkan sumber daya manusia dan biaya yang besar. Sebagai langkah awal, penerapan metode ini dapat diterapkan terhadap WP yang selama ini belum “tersentuh” oleh kegiatan-kegiatan penegakan hukum seperti pemeriksaan, penagihan termasuk konseling.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua permasalahan kepatuhan pajak dapat diselesaikan dengan pendekatan ini. Kegiatan pelayanan, penyuluhan, dan penegakan hukum (pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan), tetap merupakan pilar utama dari upaya meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Referensi
Alm, J. (2012). Measuring, explaining, and controlling tax evasion: lessons from theory, experiments, and field studies. International Tax and Public Finance, 19(1), 54-77. doi:10.1007/s10797-011-9171-2
Alm, J., & Torgler, B. (2011). Do Ethics Matter? Tax Compliance and Morality. Journal of Business Ethics, 101(4), 635-651. doi:10.1007/s10551-011-0761-9
Coleman, S. (1996). The Minnesota Income Tax Compliance Experiment State Tax Results. (Minnesota Department of Revenue), 66. Retrieved fromhttp://www.revenue.state.mn.us/research_stats/research_reports/19xx/research_reports_content_complnce.pdf
Direktorat Jenderal Pajak (2013). Laporan Tahunan 2012. www.pajak.go.id.
The Economist. (2014). Fiscal blackmail. Lessons from behavioural economics can boost tax compliance. URL: http://www.economist.com/news/finance-and-economics/21602705-lessons-behavioural-economics-can-boost-tax-compliance-fiscal-blackmail.
Harford, Tim. (2014). Behavioural economics and public policy. The Financial Times, March 21, 2014. Retrieved from: http://www.ft.com/cms/s/2/9d7d31a4-aea8-11e3-aaa6-00144feab7de.html#ixzz3CrkvqHCP
Inside Tax (2013). Menggali ke(tidak)patuhan pajak. Edisi 14, Maret 2013.
Ruel, Jean-Francois. (2014). Nudge enablers at the Canada Revenue Agency. Presentation slides at Nudge Workshop July 22, 2014. Canada Revenue Agency. Retrieved from: http://iog.ca/publications/behavioural-economics-in-the-federal-public-s...
Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2009). Nudge; Improving decisions about health, wealth and happiness. Revised and expanded edition. London, England: Penguin Books.
Torgler, B. (2007). Tax compliance and tax morale: a theoretical and empirical analysis. Cheltenham, UK: Edward Elgar.
[1] Teori yang masuk ke dalam kategori ini antara lain Prospect Theory yang diperkenalkan oleh Kahneman and Tversky (1979).
[2] Sumber: The Economist. (2014). Fiscal blackmail. Lessons from behavioural economics can boost tax compliance. URL:http://www.economist.com/news/finance-and-economics/21602705-lessons-behavioural-economics-can-boost-tax-compliance-fiscal-blackmail.
Oleh: M. Wangsit Supriyadi, Pegawai Tugas Belajar Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : pajak.go.id (12 Januari 2016)