Cerita terkini mengindikasikan wacana pengampunan pajak akan segera terealisasi. Sayangnya, kajian lengkap termasuk analisis kuantitatif yang mendasari wacana ini, sepengetahuan penulis, belum pernah diungkapkan secara lengkap dan menjadi bagian dari debat publik.
Sebagai program nasional yang sangat besar dan berpotensi mempengaruhi ekonomi nasional bukan hanya secara fiskal tapi juga moneter, bukan saja bagi sektor finansial namun juga sektor riil, tentu saja kebijakan ini memerlukan dasar kajian dan analisis kuantitatif yang saksama dan bukan sekadar berdasarkan opini, ide, apalagi keinginan pihak-pihak yang melihat adanya peluang keuntungan pri badi dalam kesulitan fiskal negara.
Walaupun kita tidak memiliki hasil kajian resmi tetapi kita dapat melakukan analisis cost-benefityang umum digunakan dalam menilai apakah suatu proyek layak atau tidak.
Secara spesifik kita akan menelaah apakah angka penerimaan uang tebus (benefit) lebih atau kurang dari potensi penerimaan dari pajak dan den da yang tidak menjadi penerimaan karena telah diputihkan (cost).
Pemerintah telah mengungkapkan estimasi uang tebus yang potensial didapat dari program pengampunan pajak yaitu sekurangnya Rp60 triliun—Rp100 triliun. Namun belum ada pengungkapan estimasi penerimaan yang hilang karena diputihkan melalui program pengampunan pajak.
Untuk memperkirakan jumlah pokok dan denda pajak yang hilang maka kita perlu mencari dasar pengenaan pajak yaitu akumulasi penghasilan obyek pajak yang di masa lalu tidak dilaporkan pemohon tax amnesty.
Untuk itu, kita perlu menetapkan beberapa asumsi penting sebagai berikut.
Pertama, asumsi tarif rata-rata uang tebus.
Dari informasi yang beredar diketahui bahwa tarif uang tebus berkisar 2%, 4% dan 6% dari harta bersih yang diungkapkan. Bagi yang lebih patriotis dan membawa harta mereka masuk kembali ke wilayah Indonesia, tarif uang tebusan dipotong setengah menjadi 1%, 2%, dan 3% bergantung kapan permohonan amnesty diajukan.
Untuk menyederhanakan analisis, kita asumsikan sebaran pemohon amnesty adalah merata selama rentang waktu yang disediakan dan separuh melakukan repatriasi dan separuh tidak. Dari skenario ini, tarif tebusan dapat dirata-ratakan menjadi 3%.
Kedua, kita asumsikan penghindaran pajak telah dilakukan selama jangka waktu 20 tahun dengan frekuensi dan jumlah penghasilan yang dilarikan ke luar negeri konstan dan merata.
Asumsi ketiga adalah asumsi tingkat imbal hasil yang diperoleh para pemohon amnesty selama periode 20 tahun penghasilan mereka ditempatkan di luar negeri.
Asumsi ini memerlukan asumsi keempat, yaitu kelas aset yang menjadi tujuan penempatan dana pemohon amnesty. Untuk sederhananya kita asumsikan seluruh dana ditempatkan dalam portfolio saham yang sepenuhnya terdiversifikasi.
Selama periode 1995—2015 imbal hasil rata-rata ekuitas di pasar Amerika Serikat mendekati 10% dan ini akan kita jadikan sebagai asumsi ketiga.
AS dipilih karena walaupun dana dilarikan ke Panama atau Cayman Island kemungkinan tujuan investasi akhir adalah di tempat yang aman, stabil, dengan pasar yang relatif dalam, dan likuid. Bursa saham AS juga dipilih kare-na data imbal hasil mudah diperoleh.
Asumsi kelima adalah asumsi tarif pajak penghasilan (PPh) di RI selama 20 tahun terakhir.
Tarif pajak bergantung pada jenis wajib pajak apakah perorangan atau badan. Untuk analisis ini kita akan asumsikan seluruh penghasilan adalah penghasilan badan dan tarif yang akan kita gunakan adalah tarif PPh Badan tahun 2015 yaitu 25%.
Apabila kita menggunakan asumsi tarif pajak wajib pajak orang pribadi, maka tarif yang paling mungkin adalah 30%. Agar konservatif, kita akan gunakan asumsi tarif yang lebih rendah.
Asumsi terakhir adalah asumsi tentang status perpajakan pemohon amnesty. Di sini kita asumsikan pemohon amnesty telah menyampaikan SPT secara rutin tetapi isinya tidak lengkap. Implikasinya adalah ketika WP secara sukarela membetulkan SPT maka dapat dikenakan denda sesuai UU KUP Pasal 8 ayat (2) yaitu 2% per bulan.
Dengan asumsi-asumsi di atas, kita dapat menghitung berapa kira-kira jumlah penghasilan yang selama puluhan tahun disembunyikan di luar negeri dan sekarang telah bertransformasi menjadi harta senilai ribuan triliun rupiah.
Pemerintah memperkirakan penerimaan uang tebus berkisar antara Rp60 hingga Rp100 triliun. Apabila kita gunakan angka konservatif Rp60 triliun dan tarif uang tebus rata-rata 3%, maka jumlah harta yang akan diikutkan dalam pengampunan pajak ini adalah Rp2.000 triliun.
Berapa banyak penghasilan yang disembunyikan dan setelah 20 tahun telah menjadi harta senilai Rp2.000 triliun?
Menggunakan asumsi imbal hasil 10% selama 20 tahun dengan aliran penghasilan konstan (anuitas), maka diperoleh angka penghasilan yang dilarikan ke luar negeri ada-lah Rp31,6 triliun per tahun atau total Rp632 triliun untuk 20 tahun.
Menggunakan tarif PPh Badan sebesar 25% terhadap penghasilan Rp632 triliun serta denda 2% per bulan sesuai UU KUP Pasal 8 ayat (2) maka potensi penerimaan yang hilang karena diputihkan dalam program amnesty ini adalah sekitar Rp539 triliun.
Apabila analisis yang sama diterapkan atas perkiraan uang tebus Rp100 triliun, maka potensi yang hilang lebih besar lagi yaitu sekitar Rp898 triliun.
Dari analisis di atas, kita simpulkan bahwa nilai bersih pengampunan pajak yaitu uang tebusan dikurangi potensi pajak yang hilang adalah sekitar negatif Rp479 triliun hingga negatif Rp798 triliun.
Inilah harga yang akan kita bayar untuk sebuah program amnesty dengan tarif uang tebus rata-rata 3%. Dengan kata lain, ‘diskon’ yang kita berikan untuk para pemohon amnesty mencapai 89% dari kewajiban pajak mereka yang seharusnya.
RASA KEADILAN
Tentu saja analisis di atas adalah analisis pintas yang terlalu menyederhanakan perkara. Namun tetap saja pertanyaan tersisa: apakah harga pengampunan pajak ini pantas?
Bukankah posisi pemerintah di atas angin karena data yang dimiliki cukup lengkap, apalagi dengan adanya data pembanding dari Panama Papers? Dengan bargaining power yang sangat kuat, mengapa memberikan tawaran uang tebus yang begitu rendah?
Mungkin ada yang menjawab: untuk memberi insentif yang cukup agar para pemilik dana berminat memanfaatkan tax amnesty.
Namun bukankah mulai 2018 ada Automatic Exchange of Information yang dirancang untuk menghilangkan perlindungan yang selama ini dimiliki para pemilik dana sehingga akan memaksa dana-dana gelap untuk terungkap dengan sendirinya?
Berapa banyak tambahan infrastruktur dan program prioritas lain yang dapat dibiayai dari uang tebus dengan tarif yang lebih tinggi? Mengikuti analisis di atas, tarif 8% — 10% masih menarik karena memberikan ‘diskon’ 70% dan 63% kepada para pemohon amnesty.
Apapun keputusan pemerintah dan DPR, semoga dilandasi pertimbangan dan perhitungan yang tepat, valid, dan akurat atau setidaknya mendekati. Harapan besar ditaruhkan atas program ini.
Gleen G. Polii
Alumnus program Master of Finance dari University of Melbourne
Sumber : bisnis.com (20 April 2016)
Foto : bisnis.com
Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak) menyebut tahun 2016 ini tahun penegakan hukum pajak, akan tetapi faktanya tidak demikian. Pemerintah secara resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty pada April 2016 lalu.selengkapnya
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanselengkapnya
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKANselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Finalselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeriselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badanselengkapnya
Kode Jenis Setoran Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23selengkapnya
Login ke alamat resmi djponline.pajak.go.id, login sesuai NPWP dan Password yang sudah terdaftar pada laman DJP Online dan masukkan captcha yang tertera pada layar utama login. Setelah berhasil login laman akan menampilkan menu Utama, kemudian pilih menu Layanan. Setelah masuk menu Layanan, laman akan menampilkan sub menu dari menu Layanan kemudian pilih eReporting Insentif Covid-19. - Padaselengkapnya
Kementrian Keuangan resmi menanggung PPh Final UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dengan patokan 0.5% dari peredaran bruto. Para pelaku UMKM di seluruh Indonesia mendapat fasilitas pajak PPh Final DTP (Ditanggung Pemerintah). PPh Final DTP tersebut diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan masa pajak September 2020.selengkapnya
Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badanselengkapnya
Saat ini, keberadaan internet menjadi salah satu hal penting untuk menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kegiatan perdagangan atau jual beli melalui internet atau online yang biasa disebut e-Commerce.selengkapnya
TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUANselengkapnya
TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK (E-COMMERCE)selengkapnya
Mulai masa pajak Juli 2018 ini, Wajib Pajak UMKM sudah dapat menerapkan tarif pajak yang baru yaitu 0,5% (sebelumnya 1%) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.selengkapnya
Langkah-langkah yang harus dilakukan jika lupa EFIN untuk mengisi SPT Tahunanselengkapnya
Kami informasikan perubahan aturan terkait dengan terbitnya aturan NOMOR S - 421/PJ.03/2018selengkapnya