PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009

Senin 19 Okt 2015 14:04Oktalista Putridibaca 1922 kaliPeraturan Pajak - PPh 21

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009

TENTANG

TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

  1. bahwa dengan dilakukan perubahan terhadapUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (5)Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus;

 
Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

 

 

 

MEMUTUSKAN:


MenetapKan: 

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.

 

Pasal 1

 
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  3. Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.
  4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
  5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
  6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
  7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
  8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
  9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

  

Pasal 2

 

(1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

(2)

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

  

Pasal 3

 

(1)

Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

(2)

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas UangPesangon.

(3)

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerimahak atas Uang Pesangon.

(4)

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiunvang dibayarkan secara sekaligus.

  

Pasal 4


Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut : 

  • sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
  • sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
  • sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  • sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

  

Pasal 5

 
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

  • sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah);
  • sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

  

Pasal 6

 

(1)

Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan  yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.

(2)

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

(3)

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

  

Pasal 7

  

(1)

Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.

(2)

Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.

(3)

Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).

 

  

 Pasal 8

  

(1)

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja padasaat pengalihan Uang Pesangon.

(2)

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja dengan pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut.

(3)

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saatpembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai.

  

Pasal 9

 
Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup.

  

Pasal 10

 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

  

Pasal 11

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

 

  

Pasal 12


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4067), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

  

Pasal 13

 
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik lndonesia.

 

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR
 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 169

 

 

 

 

 

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009

TENTANG

TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

 

  1. UMUM

 

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.

 

  1. PASAL DEMI PASAL

  

Pasal 1

Cukup Jelas.

 
Pasal 2

Ayat (1)

  

Cukup Jelas.

  

Ayat (2)

   

Karena alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.

 
Pasal 3

Ayat (1)

  

Pada dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.

  

Ayat (2)

   

Apabila pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.

   

Ayat (3)

   

Dalam hal pemberi kerja mengalilkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.

  

Ayat (4)

  

Cukup jelas.

 
Pasal 4

 

Dengan memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.

Penghasilan bruto

Rp 175.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :

0% x Rp50.000.000,00

=

RP               0,00

5% x Rp50.000.000,00

=

Rp   2.500.000,00

15% x Rp75.000.000,00

=

Rp 11.250.000,00 (+)

______________

Rp13.750.000,00

 

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

a. Bulan Desember 2009

=

Rp   50.000.000,00

b. Bulan April 2010

=

Rp 125.000.000.00 (+)

_______________

Jumlah

Rp 175.000.000,00

 

Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong :

Bulan Desember 2009:

Jumlah penghasilan bruto

Rp   50.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :

0% x Rp50.000.000.00

=

Rp 0,00

Bulan April 2010:

Jumlah penghasilan bruto

Rp 125.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :

5% x Rp 50.000.000.00

=

Rp   2.500.000,00

15% x Rp75.000.000.00

=

Rp 11.250.000,00 (+)

______________

Jumlah

Rp 13.750.000,00

 

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00


Pasal 5

 

Berdasarkan pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak. Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak produktif.

Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol persen).

 

Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah:

 

Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:

0% x Rp 50.0000.000,00

=

Rp 0,00

5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00

_____________

Jumlah

=

Rp 5.000.000,00

 

 

Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya :

Bulan Desember 2009 sebesar

Rp   50.000.000,00

Bulan Februari 2010 sebesar

Rp 100.000.000,00

_______________

Jumlah 

Rp 150.000.000,00

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

Bulan Desember 2009:
0% x Rp50.000.000,00

=

Rp 0,00

Bulan Februari 2010:
5% x Rp 100.000.000,00

=

Rp 5.000.000,00

_____________

Jumlah

=

Rp 5.000.000,00


Pasal 6

Ayat (1)

  

Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.

 

Ayat (2)

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

Penerima penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00.


Pasal 7

Ayat (1)

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082

Selengkapnya : DOWNLOAD DISINI

 

Contoh Penghitungan : KLIK DISINI




ARTIKEL TERKAIT
 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010

TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya



ARTIKEL TERPOPULER


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101/PMK.010/2016

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 16/PJ/2016

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/PMK.010/2015

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102/PMK.010/2016

PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILANselengkapnya



ARTIKEL ARSIP




ARTIKEL TERBARU :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 16/PJ/2016

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102/PMK.010/2016

PENETAPAN BAGIAN PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN DARI PEGAWAI HARIAN DAN MINGGUAN SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA YANG TIDAK DIKENAKAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILANselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101/PMK.010/2016

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/PMK.010/2015

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADIselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 162/PMK.011/2012

PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAKselengkapnya

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010

TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAHselengkapnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009

TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUSselengkapnya



KATEGORI ARTIKEL :


TAGS # :