PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. meminta pemerintah meninjau kembali wacana penetapan pajak terhadap laba ditahan (retained earnings).
Direktur Keuangan BNI Anggoro Eko Cahyo mengatakan, pihaknya masih menunggu detail draf kebijakan mengenai wacana pemajakan atas pos laba ditahan. Wacana tersebut dinilai sebagai usulan yang masih perlu dikaji lebih jauh.
Menurut Anggoro, pemerintah perlu mempertimbangkan bahwa laba ditahan dalam laporan keuangan berasal dari laba bank yang telah dikenakan pajak. Apabila dikenakan pajak tambahan, maka akan terjadi double taxation dari sumber pendapatan yang sama.
Dia menuturkan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap industri yang sangat capital intensive seperti industri perbankan. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berdampak terhadap kemampuan bank dalam menyalurkan kredit.
“Kemampuan bank dalam menyalurkan kredit tentunya akan tergerus dan pada akhirnya peran bank sebagai agent of development pertumbuhan ekonomi akan menjadi tidak maksimal,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (10/7).
Kendati demikian, dia mengatakan BNI tengah melakukan simulasi untuk mengantisipasi apabila wacana ini disahkan menjadi peraturan. Rencana tersebut kini tengah disosialisasikan dan selanjutnya akan tertuang dalam revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan atau PPh.
Pemajakan laba ditahan bertujuan untuk mengurangi uang pasif dan mendorong dana tersebut tetap diinvestasikan. Rencana tersebut akan tertuang dalam revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan atau PPh.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengungkapkan pajak laba ditahan tidak akan langsung dikenakan.
Pajak akan dikenakan terhadap laba yang terus mengendap selama bertahun-tahun, tidak dinvestasikan, tidak dibagikan, dan tidak digunakan untuk menambah kapasitas atau perluasan usaha.
Laba ditahan didefinisikan sebagai laba bersih yang ditahan dan tidak dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang saham. Penghitungan laba ditahan biasanya dilakukan dengan cara mengurangi laba bersih dengan dividen yang dibayar oleh perusahaan ke pemegang saham.
Sejauh ini, laba ditahan bukan merupakan obyek pajak (PPh Pasal 23). Laba ditahan baru bisa dipajaki apabila telah dibagikan kepada pemegang saham atau dalam bentuk dividen.
Sumber : bisnis.com (Jakarta, 10 Juli 2018)
Foto : Bisnis
Dalam revisi Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) pemerintah mempertimbangkan kemungkinan pemajakan atas laba ditahan (retained earnings) sebagai objek pajak. Meski begitu, Kementerian Keuangan (Kemkeu) menilai hal ini bisa jadi kurang tepat.selengkapnya
Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tengah mengkaji objek baru Pajak Penghasilan (PPh) dari laba ditahan. Laba ditahan merupakan laba bersih yang ditahan dan tidak dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang saham.selengkapnya
Rencana pemerintah memasukkan komponen laba ditahan (retained earnings) sebagai objek pajak penghasilan dinilai tidak tepat oleh pelaku usaha.selengkapnya
Pemerintah tengah mempersiapkan revisi Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh). Seiring hal tersebut, muncul ide untuk menetapkan laba ditahan (retained earnings) sebagai obyek pajak. Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menilai ide tersebut tidak tepat diterapkan lantaran bisa membuat terjadinya pemajakan ganda (double taxation).selengkapnya
Rencana Kementerian Keuangan memajaki laba ditahan (retained earnings) perusahaan dan pajak bagi warisan dinilai tidak tepat. Sebab, rencana itu dinilai akan menjadi disinsentif dan melemahkan dunia usaha.selengkapnya
Kementerian Keuangan berencana memajaki laba ditahan (retained earnings) perusahaan. Tak hanya itu, Kemenkeu juga akan mengenakan pajak bagi warisan. Rencana ini kemudian dinilai akan menjadi disinsentif dan melemahkan dunia usaha.selengkapnya
Pasangan suami-istri bisa memilih menjadi satu kesatuan dalam kewajiban pajak atau sebagai satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bila sebelumnya istri sudah memiliki NPWP, maka harus dihapuskan dan dialihkan ke suami. Bagaimana caranya?selengkapnya
Selain lolos dari sanksi pidana pajak, Wajib Pajak (WP) peserta Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) akan diberikan fasilitas pembebasan pajak penghasilan (PPh) oleh pemerintah. Insentif ini dapat diperoleh jika pemohon melakukan balik nama atas harta berupa saham dan harta tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.selengkapnya
Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak hingga saat ini masih tergolong rendah. Tercatat, hingga saat ini tax ratio Indonesia hanya mencapai kurang 12 persen, lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.selengkapnya
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi menegaskan, program pengampunan pajak (tax amnesty) bukan merupakan kewajiban bagi setiap Wajib Pajak (WP). WP berhak untuk memilih pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dengan aturan main yang berbeda, salah satunya mengenai pengusutan nilai wajar harta.selengkapnya
Anda adalah pasangan suami istri yang bekerja sebagai karyawan dan ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi? Ada cara mudah yang bisa Anda lakukan. Saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (30/3/2016), Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tanah Abang Dua, Dwi Astuti memberikan langkahnya. Jika status Anda dan suami atau istriselengkapnya
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menargetkan sebanyak 69 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat terintegrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajik (NPWP). Simak cara validasi NIK jadi NPWP jelang pelaporan SPT Tahunan.Hingga 8 Januari 2023, DJP mencatat baru 53 juta NIK atau 76,8 persen dari total target yang baru terintegrasi. Melalui integrasi, nantinya pelayanan dapat lebihselengkapnya
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menghimbau agar wajib pajak melakukan validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebelum pelaporan SPT Tahunan 2022. Hal ini sejalan dengan sudah mulai diterapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022. Dalam PMK yang menjadi aturan turunan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 danselengkapnya
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, insentif fiskal yang diberikan tahun 2022 lalu bakal berlanjut di tahun 2023. Stimulus fiskal itu di antaranya insentif pajak penjualan barang mewah ditanggung pemerintah ( PpnBM DTP) untuk sektor otomotif maupun insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti.selengkapnya
Setoran pajak korporasi dalam beberapa tahun ke belakang menjadi tumpuan penerimaan pajak penghasilan (PPh). Seiring pemulihan ekonomi, otoritas pajak mulai mencari sektor usaha yang berpotensi memberikan sumbangsih besar di tahun depan.selengkapnya
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah akan mengurangi insentif pajak secara bertahap seiring dengan perbaikan dan pemulihan ekonomi nasional.selengkapnya
Isu perubahan iklim tak bisa diremehkan oleh siapapun. Pemerintah pun mulai menerapkan pajak karbon pada tahun depan. Para pelaku industri perlu mencermati dampak pengenaan pajak tersebut.selengkapnya
Pemerintah telah mengusulkan pengenaan pajak karbon kepada Panita Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) Komisi XI DPR.selengkapnya
Penerimaan perpajakan 2022 ditargetkan sebesar Rp1.510 triliun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2022. Nilai ini naik Rp3,1 triliun dari penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2022 yang sebelumnya dibacakan Presiden Jokowi sebelumnya dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2021.selengkapnya
Masyarakat jangan kaget bahwa tahun depan akan ada rencana pengenaan cukai plastik, alat makan dan minum sekali makan, serta cukai minuman manis dalam kemasan pada tahun 2022.selengkapnya
Ada wacana cukai plastik, alat makan dan minum sekali makan, serta cukai minuman manis dalam kemasan akan diterapkan pada 2022. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah saat Rapat Panja Banggar DPR RI bersama pemerintah, Kamis 9 September 2021.selengkapnya