Penurunan harga CPO disebabkan beberapa sentimen negatif yang bersifat fundamental seperti stok minyak nabati dunia yang melimpah, tingkat ekspor yang rendah, dan terjadinya penurunan harga minyak dunia.
Faktor eksternal lainnya karena tingginya bea masuk yang ditetapkannegara importir. Pasokan CPO yang melimpah diproyeksikan masih akan terjadi hingga akhir tahun dan akan menekan harga komoditi sawit.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana PerkebunanKelapa Sawit (BPDP-KS) menetapkan tarif pungutan ekspor CPO dan CPKOsebesar USD 50 per ton.
Sementara itu, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein sebesar USD 30 per ton, RBD palm oil dan PKO sebesar USD 20 per ton, bungkil dan residu sawit sebesar USD 20 per ton hingga cangkang kernelsawit sebesar USD10/ton.
Idealnya, penurunan tarif pungutan ekspor dibuat berjenjang dan tetap memberi ruang bagi pengembangan industri hilir. Misalnya, tarifpungutan ekspor CPO menjadi USD30 per ton, RBD (refined, bleached, anddeodorized) Palm Olein menjadi USD10 per ton dan produk dalam kemasandibebaskan dari pungutan ekspor.
“Kami minta ke pemerintah agar PE itu diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan agar TBS petani ini bisa mendapatkan harga yang wajar,” ujar Anggota Komisi VI DPR Eriko Sotarduga, seperti dikutip Senin (19/11/2018).
Apabila PE diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan diharapkan bisa mendorong para pengusaha atau eksportir segera mengapalkan CPO ke negara-negara tujuan ekspor.
Selama ini, kata Eriko, banyak pengusaha yang masih menahan CPO miliknya pada tangki-tangki penimbunan seiring rendahnya harga CPO di pasar internasional.
Saat ini harga CPO internasional di kisaran USD 500 per metrikton. Dengan harga itu, harga TBS di tingkat petani seharusnya masih sekitar Rp 1.300 per kilogram (kg). “Perhitungannya, harga TBS itu 18 persen-20 persen dari harga per kg CPO internasional,” tutur dia.
Dia juga berharap, menyikapi penurunan harga TBS ini, harus ada sinergi yang baik antara pemerintah, pengusaha dan asosiasi petani.
Selain itu, perlu ada kolaborasi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka membuka pasar-pasar ekspor baru.
“Kemenlu melalui kedutaan besarnya di luar negeri harus intens membukapasar baru. Walaupun volumenya kecil, tidak apa-apa, yang penting dimulai,” kata Eriko.
Karena selama ini, Indonesia masih mengandalkan pasar-pasar ekspor tradisional seperti China, India dan Pakistan. Pasar-pasar di kawasanTimur Tengah dan Afrika merupakan pasar potensial untuk dimasuki.
Sumber : liputan6.com (Jakarta, 19 November 2018)
Foto : Liputan6